Sabtu, 04 Mei 2013


MENGENAL DRAMA DAN CERPEN
  •  Mengenal Unsur unsur Drama
Drama memeliki dua aspek, yaitu aspek cerita dan aspek
pementasan.
a. Aspek cerita
Aspek cerita mengungkapkan peristiwa atau kejadian yang
dialami pelaku. Kadang-kadang pada kesan itu tersirat pesan
tertentu. Keterpaduan kesan dan pesan ini terangkum dalam
cerita yang dilukiskan dalam drama.
b. Aspek pementasan
Aspek pementasan drama dalam arti sesungguhnya ialah
pertunjukan di atas panggung berupa pementasan cerita tertentu
oleh para pelaku. Pementasan ini didukung oleh dekorasi panggung,
tata lampu, tata musik dsb.
Kekhasan naskah drama dari karya sastra yang lain ialah adanya
dialog, alur, dan episode. Dialog drama biasanya disusun dalam bentuk
skenario (rencana lakon sandiwara secara terperinci).
Drama memiliki bentuk yang bermacam-macam, yaitu:
1. Tragedi ialah drama duka yang menampilkan pelakunya terlibat
dalam pertikaian serius yang menimpanya sehingga menimbulkan
takut, ngeri, menyedihkan sehingga menimbulkan tumpuan rasa
kasihan penonton.
2. Melodrama ialah lakon yang sangat sentimental dengan pementasan
yang mendebarkan dan mengharukan penggarapan alur
dan lakon yang berlebihan sehingga sering penokohan kurang
diperhatikan.
3. Komedi ialah lakon ringan untuk menghibur namun berisikan
sindiran halus. Para pelaku berusaha menciptakan situasi yang
menggelikan.
4. Force ialah pertunjukan jenaka yang mengutamakan kelucuan.
Namun di dalamnya tidak terdapat unsur sindiran. Para pelakunya
berusaha berbuat kejenakaan tentang diri mereka masingmasing.
5. Satire, kelucuan dalam hidup yang ditanggapi dengan kesungguhan
biasanya digunakan untuk melakukan kecaman/kritik
terselubung.
11.1.2 Mendeskri sikan Perilaku dalam Bentuk
Dial g aska Drama
Telah disebutkan di atas bahwa kekhasan naskah drama adalah
adanya dialog dalam naskah drama. Perilaku tokoh dalam naskah
drama dapat tercermin dari dialog yang diucapkan. Selain dalam
dialog, perilaku drama dapat disertakan dalam bentuk keterangan
lakuan.
Perhatikan contoh kutipan drama berikut ini!
Dialog merupakan percakapan
antarpelaku drama yang mengungkapkan
hal-hal atau peristiwa
yang dipentaskan.
Alur ialah rangkaian cerita atau
peristiwa yang menggerakkan
jalan cerita dari awal (pengenalan),
konflik, perumitan, klimaks,
dan penyelesaian.
Episode ialah bagian pendek sebuah
drama yang seakan-akan
berdiri sendiri, tetapi tetap merupakan
bagian alur utamanya.
133
Bab 11 Drama II
01. Nenek : (Bicara sendiri) Ah, dasar! Kayak nggak
pernah ingat sudah pikun. Pekerjaannya tak
ada lain cuman bersolek. Dikiranya masih
ada gadis-gadis yang suka mandang.
Hmmmm. (Mengambil cangkir, lalu diminum)
02. Kakek : (Masuk) Bagaimana kalau aku pakai kopiah
seperti ini, Bu?
03. Nenek : Astaga! Tuan rumah mau ke pesiar ke mana
menjelang malam begini?
04. Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuman duduk-duduk
saja, sambil membaca koran.
05. Nenek : Mengapa membaca koran mesti pakai
kopiah segala?
06. Kakek : Agar komplet, Bu.
07. Nenek : Yaaaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis,
empat puluh tahun lampau... hebat sekali,
memang. Tapi sekarang, kopiah hanya
bernilai tambah penghangat belaka.
08. Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil koran,
lalu pergi ke sofa, membuka lembarannya)
09. Nenek : Mengapa tidak duduk di sini?
10. Kakek : Sebentar.
Siang itu Ita bergegas menuju kios buku dan majalah bekas
yang ada di pojokan Jalan Mawar. Di sana sudah tampak Bang
Togar yang sedang membereskan tumpukan buku.
“Halo Ita! Kamu pasti butuh buku bacaan lagi kan?” sambut
Bang Togar begitu melihat Ita. Bang Togar masuk ke dalam
kios. Tidak lama kemudian ia keluar dengan tumpukan buku
yang langsung diletakkan di depan Ita.
“Kamu pasti menyukai buku-buku ini. Abang sengaja
menyimpannya untukmu sebelum orang lain membelinya,” kata
Bang Togar kemudian. Benar saja, di tumpukan tersebut terdapat
bermacam-macam bacaan yang menarik. Ada kumpulan
dongeng, komik, novel anak, dan buku cerita bergambar.
Ita buru-buru memilih buku yang diinginkannya. “Tiga buku
berapa, Bang?” tanyanya setelah mendapatkan buku yang
diinginkan.
“Empat ribu rupiah saja untuk Ita. Ita juga boleh mengambil
satu majalah lagi kalau mau,” jawab Bang Togar.
Pada dialog 01 terdapat
deskripsi perilaku
manusia, yaitu tokoh
Kakek.
Ini adalah keterangan
lakuan. Keterangan
lakukan diapit tanda
kurung dan biasanya
dicetak miring.
Keterangan lakuan ini
juga mendeskripsikan
perilaku tokoh.
Kutipan Cerpen
1. Cermatilah KUTIPAN CERPEN
di samping!
2. Deskripsikan perilaku tokoh
pada kutipan cerpen tersebut
dalam bentuk dialog naskah
drama!
134
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
11.1.3 Men adur er en Men adi Drama
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa
merusak garis besar cerita (KBBI, 2001: 976). Cerpen terdiri atas
paragraf-paragraf, sedangkan drama terdiri atas adegan-adegan dan
dialog.
Di awal Anda telah berlatih mendeskripsikan perilaku manusia
dalam bentuk dialog naskah drama. Sekarang, Anda akan menyadur
cerpen menjadi bentuk drama yang utuh. Langkah-langkah menyadur
drama adalah
a. Membaca cerpen tersebut dengan teliti
b. Mengenali unsur-unsur cerpen, kemudian mencatat unsur-unsur
tersebut.
c. Menyempurnakan catatan dari awal sampai akhir.
Menyadur cerpen dapat dilakukan juga dengan cara memperluas
unsur intrinsik dan unsur-unsur lain yang mendukung cerpen misalnya:
- menambah tokoh
- mengembangkan penokohan
- menghidupkan konflik
- menghadirkan latar yang mendukung
- memunculkan penampilan (performance)
Sebelum Anda menyadur cerpen menjadi drama pahamilah
bagian-bagian drama berikut ini:
1. pengenalan
2. pemunculan peristiwa atau masalah
3. situasi menjadi rumit atau masalah menjadi kompleks
4. masalah/persoalan mencapai klimaks/titik kritis
5. situasi surut dan penyelesaiannya
Bacalah cerpen karya Seno Gumira Ajidarma berikut ini!
Duduk di Te i ungai
Cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Ia meraup remah-remah
roti dari telapak tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya
ke pasir putih. Lantas merpati itu mematukinya. Angin menggelepar
ditingkah bunyi sayap mereka, yang datang dan pergi
sesekali. Suara sungai seperti aliran mimpi.
“Terbangnya cepat dan tinggi?” tanya si cucu, sambil terus
memandangi makhluk bersayap itu tanpa berkedip.
“Tentu saja, coba lihat matanya ....”
Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang
mata, paruh, dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala
macam hal tentang merpati yang diketahuinya. Ia memindahkan
seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Dan si anak merekam
seluruh pengalaman hidup orang tua itu.
Dialog dalam drama
berfungsi untuk:
a. mengemukakan persoalan
secara langsung;
b. menjelaskan tentang tokoh
atau perannya;
c. menggerakkan plot maju; dan
d. membuka fakta.
Kompas, 9 Sept 06
Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di
Boston, AS tahun 1958. Buku kumpulan
cerpen karyanya adalah
Manusia Kamar (1987), Penembak
Misterius (1993), Aksi Mata (1994),
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
(1995), Sebuah Pertanyaan untuk
Cinta (1996), Negeri Kabut (1996),
Iblis Tidak Pernah Mati (1999), dan
Atas Nama Cinta (1999).
135
Bab 11 Drama II
“Merpati juga sering disebut burung dara,
kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak. Orang-orang tua seperti aku
tidak pernah diberi pelajaran Bahasa Indonesia.
Mestinya kamu lebih tahu.”
“Aku akan tahu nanti, sekarang belum.” Anak
itu menjawab sambil menatap mata kakeknya.
Mata anak itu bening, tajam dan bercahaya, bagaikan
memancar langsung dan menyelusup ke
dalam mata kakeknya. Mata kakeknya juga bercahaya,
tapi tidak lagi begitu bening dan tidak lagi
begitu tajam. Mata itu juga menusuk langsung ke
dalam mata cucunya. Kakek itu melihat masa lalu
lewat mata cucunya.
Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya.
Ia mengenal lumpur sawah. Ia mengenal kerbau.
Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling.
Ia mengenal suara sungai. Itu semua dari
kakeknya. Lantas terpandang telapak tangannya
sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya.
Telapak tangannya sendiri dulu juga seperti
telapak tangan cucunya.
“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu
sambil terus memandang mata cucunya. Ia seperti
mencari sesuatu dari dirinya sendiri dalam diri
cucunya. “Tentu ada sesuatu dari diriku,” batinnya
lagi, “seperti juga ada sesuatu dari diri kakekku
dalam diriku.”
“Apakah kakek dulu juga bersekolah seperti
aku?”
“Aku tidak pernah sekolah Nak, aku dulu
belajar mengaji.”
“Mengaji?”
“Ya, mengaji. Kamu tahu kan? Sebetulnya itu
sekolah juga. Ayat-ayat kitab suci mengajarkan
bagaimana hidup yang benar.”
“Kenapa Bapak tidak mengajari aku mengaji
sekarang?”
“Tanyakan saja sendiri. Mungkin karena waktumu
habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai
sore.”
“Kalau memang kitab suci mengajarkan hidup
yang benar, seharusnya Bapak menyuruh aku
belajar mengaji.”
“Ya, tapi banyak orang berpikir belajar mengaji
itu aneh di zaman sekarang. Mungkin bapakmu juga
berpikir begitu. Ia berpikir kamu lebih baik belajar
bahasa Inggris.”
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak
pernah belajar mengaji sama sekali?”
Kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia
menatap mata cucunya yang bening dan polos
bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan
kepada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab
pertanyaan cucunya dengan jawaban kakeknya. Ia
sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha
keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena
ia berpikir akan teringat sampai mati. Sering kali
ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut
itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk
cucunya. Selama ini ia memang sudah menemukan
keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan
keyakinan sendiri.
“Tanyakan saja pada gurumu, Nak. Tentunya
ia punya jawaban yang bagus.”
“Guruku tidak pernah menjawab, Kek, ia hanya
mengajarkan bagaimana caranya aku menemukan
jawaban.”
“Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah
yang bagus. Kamu beruntung sekali, Nak, kamu
sangat beruntung ....”
Anak kecil itu masih memandang mata kakek-
“Merpati juga sering disebut burung dara, kamu
tahu kenapa?”
136
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
nya tanpa berkedip. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki
lorong kehidupan yang panjang ke masa lalu dan ke masa depan.
Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya
begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah
perjalanan panjang sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah
memindahkan perjalanan kakeknya dan perjalanannya sendiri
dalam diri cucunya dan ia membayangkan apakah cucunya kelak
setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan leluhurnya
ke dalam diri cicitnya.
Sungai itu mendesah. Burung dara mengepakkan sayap. Desah
sungai selalu seperti itu dan kepak sayap burung juga selalu
seperti itu tapi manusia selalu berubah.
Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Burungburung
mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak
kecil itu merasa geli dan karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh.
Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumunan
burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar
sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di
antara kerikil. Cucunya berlari-larian di atas kerikil bercampur
pasir putih yang bersih.
“Ini sebuah tempat yang bagus,” pikir orang tua itu. Di seberang
sungai itu ada pohon-pohon yang rindang tempat remaja
berpacaran dan di seberang pohon-pohon rindang itu ada pagar
tembok dan di luarnya membayang deretan gedung-gedung bertingkat
dan di atas gedung-gedung bertingkat itu bertengger
antena-antena parabola.
Mata orang tua itu berkedip-kedip karena silau.
“Kakek! Ke sini!”
Terdengar cucunya memanggil.
Orang tua itu duduk mendekat. Ia melihat cucunya duduk di
tepi sungai. Sungai itu airnya jernih. Dasarnya terlihat jelas.
Terlihat ikan bergerak-gerak di celah batu. Ia memandangi cucunya,
ingin tahu anak itu mau berkata apa. Tapi anak kecil itu
cuma membenamkan dagu antara kedua lututnya. Seperti mendengarkan
sungai. Remah-remah roti yang mereka bagikan telah
habis. Burung-burung melayang pergi. Mereka berdua memandang
burung-burung itu beterbangan di langit. Makin lama makin
menjauh dan menghilang seperti masa yang berlalu. Tak terdengar
lagi kepak sayap burung. Tinggal suara sungai yang gemericik
dan udara yang bergetar ditembus cahaya matahari.
Kyoto - Jakarta. 1986 - 1988
Sumber: Kumpulan cerpen Dilarang Bernyanyi di Kamar
Mandi, karya Seno Gumira Ajidarma
1. Bentuklah kelompok yang masing-
masing kelompok terdiri 4
orang!
2. Bacalah cerpen Duduk di Tepi
Sungai dengan saksama!
3. Tentukan unsur-unsur intrinsik
pada cerpen tersebut!
4. Sadurlah cerpen tersebut menjadi
bentuk drama!
5. Carilah cerpen atau novel di majalah
atau surat kabar! Ubahlah
bentuk cerpen atau novel tersebut
menjadi sebuah naskah
drama!
Gbr.11.1
Sampul depan buku kumpulan
cerpen Dilarang Bernyanyi di
Kamar Mandi, karya Seno
Gumira Ajidarma.
Paska

Kamis, 02 Mei 2013



Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
contoh :
Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang

Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat
Gurindam Dua Belas
Kumpulan gurindam yang dikarang oleh Raja Ali Haji dari Kepulauan Riau. Dinamakan Gurindam Dua Belas oleh karena berisi 12 pasal, antara lain tentang ibadah, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orang tua, tugas orang tua kepada anak, budi pekerti dan hidup bermasyarakat.
Hikayat
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Salah satu hikayat yang populer di Riau adalah Yong Dolah.
Karmina
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Karmina
Karmina atau dikenal dengan nama pantun kilat adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua adalah isi. Memiliki pola sajak lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan secara langsung.
Contoh
Sudah gaharu cendana pula Sudah tahu masih bertanya pula
Pantun
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pantun
Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak a-b-a-b, a-b-b-a, a-a-b-b. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna); dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. 1 baris terdiri dari 4-5 kata, 8-12 suku kata.
Contoh Pantun
Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang
Seloka
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Seloka
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair, kadang-kadang dapat juga ditemui seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
contoh seloka lebih dari 4 baris:
Baik budi emak si Randang
Dagang lalu ditanakkan
Tiada berkayu rumah diruntuhkan
Anak pulang kelaparan
Anak dipangku diletakkan
Kera dihutan disusui
Syair
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud). Syair berasal dari Arab.
Talibun
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Contoh Talibun :
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu
s